Kisah Kakek dan Perubahan Nama Ibu Kota: Anta Branta Menjadi Konoha

Makassar, Targeticw.com — Pada masa lampau, di sebuah desa yang terpencil, sering kali seorang kakek menceritakan kisah-kisah dari zaman dulu kepada anak dan cucunya. Di malam hari, ketika listrik belum ada, dan radio hanya dimiliki oleh kepala kampung atau kepala distrik, sang kakek duduk di balai-balai bambu, dikelilingi para cucunya yang penuh rasa ingin tahu. Minggu, (22/12/2024).

“Saat malam yang gelap gulita, kami hidup tanpa listrik dan televisi. Hanya ada radio, itupun hanya dimiliki oleh beberapa orang,” ujar sang kakek, sambil melanjutkan cerita.

“Dulu, meskipun kami tinggal di rumah yang terbuat dari bambu dan kayu, kami jauh dari bencana. Kami tidak pernah mendengar tentang banjir, gempa bumi, atau kecelakaan fatal. Tetapi, ketika kami pergi ke kota Raja, barulah kami melihat lampu-lampu listrik dan bangunan rumah dari batu. Ibu kota negeri pada waktu itu dikenal dengan nama Anta Branta.”

Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi semakin pesat, dan negeri pun mengalami perubahan besar. Sang Raja, dengan kekuasaannya, memutuskan untuk mengganti nama ibu kota Anta Branta menjadi Konoha. Kota Konoha pun berkembang pesat, dipenuhi dengan hiruk-pikuk kehidupan modern, persaingan gaya hidup, serta kemajuan yang tidak terelakkan.

Bagi mereka yang kaya raya, pembangunan gedung-gedung pencakar langit menjadi simbol kemajuan. Sumber daya alam, seperti pohon-pohon dari hutan, batu, tanah, dan pasir, diambil secara masif untuk mendirikan bangunan-bangunan besar. Gunung-gunung pun gundul, sungai-sungai yang dahulu penuh dengan batu dan pasir kini telah dikuras habis untuk memenuhi kebutuhan pembangunan kota.

Para cucu yang mendengarkan cerita itu semakin terdiam dan fokus, meresapi setiap kata yang keluar dari mulut sang kakek.

Kakek melanjutkan, “Namun, dengan kemajuan itu datanglah ancaman bencana yang tak terelakkan. Anak-anakku, cucu-cucuku, apabila kelak kalian memimpin negeri ini, baik sebagai kepala kerajaan, kepala pemerintahan, atau pemimpin lainnya, ingatlah pesan ini. Jagalah hutan, jangan tebang pohon sembarangan, jangan ambil tanah, batu, dan pasir secara serakah, karena semua itu adalah anugerah dari Tuhan. Alam harus dijaga, bukan dimanfaatkan dengan cara yang merusak.”

“Jika kalian hidup di kota, jangan berlomba untuk membangun gedung-gedung tinggi dan rumah mewah dengan halaman luas. Jika itu yang kalian lakukan, kalian akan merusak tatanan alam yang telah diciptakan oleh Tuhan. Jangan terkejut jika suatu saat terjadi tanah longsor, gempa bumi, atau banjir yang tak terkendali. Semua itu adalah akibat dari keserakahan dan ketamakan manusia.”

Sang kakek menatap cucunya dengan serius, “Biar kalian dikenal kaya, pintar, dan cerdas, tetapi ingat, jika kalian melupakan keseimbangan alam, Tuhan akan murka. Ketika murka itu datang, segala yang dibangun dengan keserakahan—rumah mewah, gedung pencakar langit—akan hancur dalam sekejap. Bahkan kalian pun akan tertimbun, tidak hanya gedung dan rumah yang rata dengan tanah, tetapi kehidupan kalian juga akan hancur.”

“Jauhilah sifat sombong, serakah, dan takabur. Karena di masa depan, akan banyak orang pintar, tetapi hanya sedikit yang benar. Akan banyak yang pandai memberi contoh, namun yang benar-benar menjadi teladan hanya sedikit. Itu pesan kakek kepada kalian.”

Dengan suara parau, sang kakek menutup ceritanya, meninggalkan pesan yang mendalam di hati anak dan cucunya.